Kamis, 21 Mei 2009

MAHALNYA SEBUAH KESADARAN

Sepasang suami istri – seperti pasangan lain di kota-kota besar meninggalkan anak-anak diasuh oleh pembantu di rumah sewaktu bekerja. Anak tunggal pasangan ini, perempuan cantik berusia tiga tahun. Sendirian ia di rumah dan kerap kali dibiarkan pembantunya karena sibuk bekerja di dapur. Bermainlah ia bersama ayun-ayunan yang dibelikan ayahnya, Ataupun memetik bunga atau yang lainya di halaman.

Suatu hari ia melihat sebatang paku yang sudah berkarat. Dan ia pun mencoret lantainya tempat mobil ayahnya diparkir, tetapi karena lantainya terbuat dari marmer maka coretan itu tidak kelihatan. Dicobanya lagi pada mobil baru ayahnya. Ya…. Karena mobil itu berwarna gelap, maka coretannya tampak jelas. Dan diteruskannya coretan-coretan tersebut sesuai dengan kreativitasnya.

Hari itu, ayah dan ibunya bermotor ke temapat kerja karena ingin menghindari macet. Setelah sebelah kanan penuh coretan maka ia berpindah ke sebelah kiri mobil. Dibuatnya gambar ibu dan ayahnya, gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan lain sebagainya mengikuti imajinasinya. Kejadian tersebut berlangsung tanpa disadari oleh si pembantu rumah.

Saat pulang petang, terkejutkan pasangan suamu istri itu melihat mobil yang baru setahun dibeli dengan bayaran angsuran yang masih lama lunasnya. Si bapak yang belum lagi masuk ke rumah ini pun terus berteriak, “Kerjaan siapa ini!!!!....”. Pembantu yang tersentak dengan teriakan itu berlari keluar. Dia juga beristighfar. Mukanya merah padam ketakutan lebih-lebih melihat wajah bengis tuannya. Sekali lagi diajukan pertanyaan keras kepadanya, dia terus mengatakan “Saya tidak tahu tuan…”. “Kamu di rumah sepanjang hari, apa saja yang kau lakukan?” hardik si istri lagi.

Si anak yang mendengar suara ayahnya, tiba-tiba berlari keluar kamarnya. Dengan penuh manja ia berkata “Dita yang membuat gambar itu yahhh…, cantik … kan!!!” katanya sambil memeluk ayahnya manja seperti biasanya. Si ayah yang sudah hilang kesabarannya, mengambil sebatang ranting kecil dari pohon di depan rumahanya, terus dipukulnya berkali-kali pada telapak tangan anaknya. Si anak yang tak mengerti apa-apa menangis kesakitan, pedih sekaligus ketakutan. Puas memukul telapak tangannya, si ayah memukul pula belakang tangan anaknya.

Sedangkan si ibu diam saja. Seolah merestui dan merasakan puas dengan hukuman yang dikenakan pada anaknya. Pembantu rumah terbengong, tidak tahu harus berbuat apa. Si ayah cukup lama memukul-mukul tangan kanan dan kemudian berganti tangan kiri anaknya. Setelah si ayah masuk ke rumah diikuti si ibu, pembantu rumah tersebut menggendong anak kecil itu, membawanya ke kamar.

Dia terperanjat melihat telapak tangan dan belakang tangan si anak kecil itu, luka-luka dan berdarah. Pembentu rumah memandikan anak itu. Sambil menyiramnya dengan air, ia ikut menangis. Anak itu menjerit-jerit menahan pedih saat lukanya itu terkena air. Lalu si pembantu rumah itu menidurkan anak itu. Si ayah sengaja membiarkan anak itu tidur bersama pembantu rumah. Keesokan harinya, kedua belah tangan si anak bengkak. Pembantu rumah mengadu ke majikannya. “Oleskan obat saja!” jawab bapak si anak.

Pulang dari kerja, dia tidak memperhatikan anak kecil itu yang menghabiskan waktu di kamar pembantunya. Si ayah konon mau menberi pelajaran pada anaknya. Tiga hari berlalu, si ayah tidak pernah menjenguk anaknya sementara si ibu juga begitu, meski setiap hari bertanya kepada pembantu rumah. “Dita demam, bu ….” Jawab si pembantu rumah. “Kasih minum panadol aja”, jawab si ibu. Sebelum si ibu masuk kamar tidur, dia menjenguk kamar pembantunya.

Saat dilihat, Dita dalam pelukan pembantu rumah, dia menutup lagi pintu kamar pembantunya. Masuk hari ke empat, pembantu rumah memberitahukan tuannya bahwa suhu bandan Dita terlalu panas. “Sore nanti kita bawa ke klinik. Pukul 17.00 sudah siap”, kata majikannya itu. Sampai saatnya si anak yang lemah dibawa ke linik. Dokter mengarahkan agar ia dibawa ke rumah sakit karena keadaannya sudah serius. Setelah beberapa hari dirawat inap, dokter memanggil bapak dan ibu si anak itu. “Tidak ada pilihan, “ kata dokter, “kedua tangan Dita harus diamputasi karena sakitnya sudah terlalu parah dan infeksi akut” lanjut dokter tersebut. “Ini sudah bernanah, demi menyelamatkan nyawanya maka kedua tangannya harus dipotong dari siku ke bawah” kata dokter. Si bapak dan si ibu bagaikan terkena halilintar mendengar kata-kata tersebut. Terasa dunia berhenti berputar, tapi apa yang dapat dikatakan lagi.

Si ibu meraung memeluk si anak. Dengan berat hati dan lelehan air mata si istri, si bapak bergetar tangannya menndatangani surat persetujuan pembedahan. Keluar dari ruang bedah, selepas obat bius disuntikkan habis, si anak menangis kesakitan. Dia juga keheranan melihat kedua lengannya berbalut kasa putih. Ditatapnya muka ayah dan ibunya. Kemudian ke wajah pembantunya. Dia mengerutkan dahinya melihat mereka semua menangis. Dalam siksaan menahan sakit, si anak bersuara dalam linangan air mata.

“Ayah… ibu…. Dita tidak akan melakukannya lagi…. Dita tak mau lagi ayah pukul. Dita tak mau jahat lagi…. Dita sayang ayah… Dita sayang ibu..,” katanya berulang kali membuat si ibu bertambah sedih. “Dita juga sayang mbok Narti…” katanya sambil memandang wajah pembantu rumahnya itu, sekaligus membuat wanita itu meraung histeris.

“Ayah… kembalikan tangan Dita. Untuk apa di ambil… Dita janji tidak akan mengulanginya lagi! Bagaimana caranya Dita makan nanti?... bagaimana Dita mau bermain nanti?.... Dita janji tidak akan mencorat-coret mobil lagi,” katanya berulang-ulang. Serasa hancur hati si ibu mendengar kata-kata anaknya. Meraung-raung dia sekuat hati, namun takdir yang sudh terjadi tiada manusia dapat merubahnya. Nasi sudah menjadi bubur. Pada akhirnya si anak cantik itu meneruskan hidupnya tanpa kedua tangan dan ia masih belum mengerti mengapa tangannya tetap harus dipotong meski sudah minta maaf…

Tahun demi tahun kedua orang tua tersebut menahan kepedihan batin sampai suatu saat sang ayah tak kuat lagi menahan kepedihannya dan wafat diiringi tangis penyesalan yang tak bertepi…, namun…, si anak dengan segala keterbatasan dan kekurangannya tersebut tetap hidup tegar bahkan sangat sayang dan selalu merindukan ayahnya.

JANGAN SAMPAI KESADARAN DATANG TERLAMBAT
KARNA, PENYESALAH KAN DI DAPAT

SEMOGA MENJADI RENUNGAN SEPANJANG MASA

5 komentar:

  1. suatu artikel yang bagus sob mudah mudahan kita semua bisa menjaga dengan kesadaran...
    1.tahu diri
    2.mawas diri
    3.harga diri

    okkk ok

    BalasHapus
  2. thanks neh pak artikel nya... sebagai pengingat kita.. thanks bgt... keep share.... jangan lupa Berikan komentar terbaik anda untuk saya ya Thanks...

    BalasHapus
  3. astaghfirullahalazhim... sy sangat trenyuh ketika membaca crita ini. begitu kejamnya si org tua yg mnghukum kesalahan kcil anaknya smpe2 si ank hrs khilangan kdua tngannya. ini adalah pringatan bagi para orang tua, apa sudah tidak bisa mmberi contoh yg baik bagi penerus bangsa ini? na'udzubillahimindzalik, smoga crita sperti ini tdk akan pernah trjadi lagi. amin.

    BalasHapus
  4. semoga ini hanya sebuah cerita saja dan jangan sampai terjadi pada kehidupan yang nyata

    BalasHapus