Selasa, 08 November 2011

MANUSIA PEMBUNUH KEBODOHAN

MUNGKIN Anda belum mengenalnya. Ia memang bukan bintang sinetron. Bukan politisi. Bukan selebriti. Tapi bagi mereka yang mengenalnya, Kiswanti lebih dari itu, ia adalah seorang pahlawan. Ia adalah perempuan 'nekad' yang berkeliling dengan sepeda membagikan buku tanpa menarik biaya. Tujuannya : supaya rakyat kecil, terutama anak-anak tertarik membaca dan lebih pintar. Sederhana. Namun usahanya tak sesederhana tujuannya.

Butuh puluhan tahun bagi Kiswanti untuk bisa jadi seperti sekarang. Dan selama puluhan tahun itu, ibu 2 anak ini berjuang sebagai loser. Lahir dari keluarga kurang mampu, ayahnya seorang penarik becak dan ibunya penjual jamu gendong. tak mampu membiayainya bersekolah. Tapi sang ayah tak kehabisan akal, ia mencoba mengajari Kiswanti kecil membaca dari potongan-potongan surat kabar yang lantas jadi bekal ia belajar merangkai huruf, mengeja, menulis dan akhirnya membaca. Tak puas, maka diam-diam ia `masuk' ke sebuah SD dekat rumahnya.

Empat bulan kemudian, pihak sekolah menagih uang SPPnya. Terpaksa ia mengaku dan meminta kepada orangtuanya, tapi mereka tak mampu membayar, malah ayahnya dengan berat hati menyarankan agar ia keluar saja. Tapi keinginannya untuk belajar tak bisa dikalahkan oleh siapapun, dan sang ayah akhirnya dengan sekuat tenaga mencoba mengumpulkan uang untuk membayar SPP-nya.

Sial, ketika uang tunggakan dibayarkan, pihak sekolah sudah memutuskan Kiswanti tak naik kelas. Pikiran lugu anak kecilnya sempat bertanya-tanya kenapa hanya gara-gara terlambat bayar uang SPP ia tak bisa naik kelas, padahal ia sering ikut lomba dan menjadi juara? Toh kesedihan itu berangsur reda ketika muncul sebuah `keajaiban', tiba-tiba saja seluruh SPP-nya ada yang melunasi. Meski pintar, namun statusnya sebagai anak `wong cilik yang kere' membuat ia tak punya teman. Malahan, saking kesepiannya, saat istirahat ia malah main di kuburan yang terletak didekat sekolahnya. Dengan imajinasinya yang super aktif, Kis kecil sering mengajak bicara pepohonan dan berteman dengan blacan (kucing hutan) yang berkeliaran di area tersebut.

Kebiasaan tersebut baru berhenti ketika suatu hari datang peninjau ke sekolahnya dan menanyakan kenapa ada anak perempuan yang sepertinya murid sekolah tersebut bermain di kuburan. bapak Peninjau tersebut lantas mengatakan kalau sebaiknya ia bermain ia menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan. bahkan ia lalu diberi keleluasaan pinjam buku tanpa harus jadi anggota, sebagai gantinya Kis disuruh membantu di bagian pencatatan peminjaman.

Tentu saja Kis girang sekali. Impiannya selama ini untuk bisa membaca buku sepuas hati pun terlaksana. Namun itu tak merubah banyak hal, teman-temannya masih saja tak mau bergaul dengannya. Seragamnya yang hanya satu buah makin hari makin kekuningan, dan itu menjadi cibiran teman-teman sekolahnya. Menjelang kelulusan, Trisno, sang ayah memanggilnya. "Ayah tak tega melihat situasi yang saya hadapi, akhirnya bilang kalau sebaiknya saya berhenti sekolah saja, karenakami… terlalu miskin..," ujarnya masgul.

Meski begitu, semangat belajar Kiswanti tak pernah pudar. "Sayaselalu ingat kalimat ayah : "Sampai kapanpun kalau kamu bisa baca (tulis), kamu tetap bisa pintar"… hingga sekarang kalimat itu melekat di hati, dan mungkin itu juga yang membuat saya tak pernah menyerah, saya tak ingin jadi orang bodoh. Meski saya hanya orang miskin lulusan SD," kata Kiswanti. bahkan setelah tak bisa sekolah pun, ia tetap membuatnya berpikir bagaimana agar bisa terus belajar, dan bagaimana bisa punya perpustakaan gratis agar orang-orang miskin macam dirinya bisa ikut mendapat ilmu.

Sebagai `ganti' pendidikan formal yang bagi keluarganya terlalu mahal, Kiswanti belajar dari buku-buku bekas yang dibelikan orangtuanya di pasar loak. Saat memasuki SMP dan SMA, ia bertanya-tanya pada teman-temannya yang belajar di sekolah favorit, mengenai buku pelajaran apa saja yang digunakan, lalu ia meminta ayahnya membelikan di pasar loak. Dan meski tak lagi duduk di bangku sekolah, Kis bisa mengejar ketinggalan, bahkan kini teman-temannya sering memintanya membuatkan pe-er. Melek aksara, terbukti telah menaikan derajat Kiswanti, setidaknya kini ia punya banyak teman yang membutuhkan kepintarannya. Dan pesan sang ayah kembali terngiang di telinga, tak akan pernah jadi orang bodoh bila rajin membaca.

Ketika beranjak dewasa, tepatnya di tahun 1987, Kiswanti pun nekad hijrah ke Jakarta, menguji nasib sebagai pembantu rumah tangga, seperti yang sudah banyak dilakukan sebagian teman di kampungnya. Ia pun lantas menulis surat kepada salah seorang temannya yang sudah bekerja disana. Tak lama ia diberitahu kalau ada sebuah pekerjaan menanti, sebagai pembantu rumah tangga di sebuah keluarga Philipina.

Disitu, Kis menjadi pembantu yang ke tujuh, pekerjaannya standard dan khas pembantu rumah tangga : bersih-bersih rumah dan membantu di dapur. Suatu kali, salah seorang pembantu sakit, dan ia disuruh menggantikan tugasnya membersihkan ruang kerja tuannya. Begitu membuka pintu ruang kerja sang majikan, mulutnya ternganga, ia tak bisa mempercayai penglihatannya. Ternyata di dalam ruang kerja majikannya terdapat sebuah perpustakaan pribadi. Yang lebih mengejutkan ia melihat banyak koleksi buku berbahasa Indonesia yang selama ini hanya mondar-mandir dalam khayalannya.

Kiswanti jadi makin semangat. Ia merasa cita-citanya untuk memiliki perpustakaan seperti ditunjukan jalan. Panggilan hatinya tak lagi terbendung, ia lalu nekad menemui kepala pembantu rumah tangga, minta tolong untuk bicara pada majikannya, serta menitip pesan agar gajinya yang sebesar Rp 40 ribu itu dibayarkan dalam bentuk buku saja. Tapi ternyata permintaan itu tak dikabulkan, ia tetap digaji seperti biasa. Malah, karena dianggap lebih 'edukatif', `pangkatnya' dinaikan sebagai babysitter yang menemani anaknya yang berusia 7 tahun belajar.

Sayang, 3 bulan kemudian, keluarga majikannya harus kembali ke negaranya. Saat perpisahan Kiswanti diberi pesangon sebesar Rp. 50 ribu. Ia pun dibawa ke Kwitang dan bisa membeli 45 judul buku. Awalnya sisa pesangon itu ia bawa sebagai bekal pulang ke desa, bersama buku-buku barunya. Tapi di stasiun ia bertemu Ngatmin, seorang tukang batu yang sedang mengantar majikannya naik kereta. Mereka berkenalan, Ngatmin pun lantas menawarkan pekerjaan di sebuah keluarga Korea. Gajinya besar, 60 ribu rupiah. Kiswanti akhirnya urung pulang kampung. Ia sudah membayangkan bisa menambah koleksi buku dan membelikan adik-adiknya mesin jahit atau peralatan rumah tangga lainnya.

Setelah berkenalan, Ngatmin sendiri tak bisa menutupi ketertarikannya pada Kiswanti, yang ia anggap ramah dan sopan, berbeda dengan `perempuan kampung' lain yang pernah ia temui. Ketika didekati, Kis menanyakan keseriusan Ngatmin sembari mengatakan kalau tak mudah dekat dengannya, Ngatmin adalah pria ke-19 yang kemungkinan tak akan sanggup menerima syarat yang diajukan Kiswanti, yang memang tergolong tak biasa. Antara lain, ia minta diperbolehkan meneruskan hobinya mengoleksi buku, dan hasil pemasukan kerja suami boleh dipakai sebagian untuk mengembangkan perpustakaannya.

Diluar dugaan Ngatmin menyetujui syarat-syarat ajaib tersebut. Setelah menikah, pasangan ini meneruskan kehidupan mereka yang keras di ibukota. Ngatmin bekerja sebagai kuli bangunan, Kiswanti sebagai pembantu rumah tangga di sebuah keluarga Korea. Namun, meski tinggal di rumah kontrakan yang sempit dan sumpek, tak melenyapkan cita-citanya membuka perpustakaan. Dari hasil keringatnya, buku demi buku ia kumpulkan. Meski itu hanya berupa buku-buku loakan dari pasar Senen.

Bertahun kemudian, pasangan ini berhasil mengumpulkan sisa jerih payah mereka untuk membeli sebidang tanah di kawasan Parung, Bogor pada tahun 1994. Disinilah `perjalanan' baru Kiswanti dimulai. Melihat tetangganya yang kala itu tak pedulian akan pendidikan rupanya menggugah hatinya. Melihat kondisi sekitarnya, ia pun terpanggil untuk membuat lingkungannya melek edukasi. Dan karena tak memiliki bekal selain sebuah kebulatan tekad, Kis pun memulai sebuah perjalanan yang tak biasa. Dengan sepeda ontel dan tumpukan buku yang ia taruh di boncengan ia mulai berkeliling kampung `membagikan' buku bagi mereka yang `ingin lebih pintar'. Toh tak semua orang bisa menerima Kiswanti dengan tangan dan pikiran terbuka, banyak yang menghina, bahkan mengatainya sebagai orang gila. Namun, keyakinannya membagi ilmu lewat buku (bacaan) tak tergoyahkan. "Saya sudah biasa dihina dari kecil," ujarnya.

Tak puas sekedar `berkeliling', Kiswanti pun lantas mendirikan sebuah perpustakan sederhana yang terletak di rumahnya sendiri kawasan Parung, Bogor, dimana kini anak-anak kecil setiap hari menghabiskan waktu luang mereka di sebuah ruangan berukuran 4 x 10 meter itu. Di sisi kiri kanan ruangan kecil tersebut berjejer rak warna-warni penuh buku. Ada juga beberapa mainan seperti jigsaw puzzle, monopoli dan lego tersusun rapi di sudut ruangan. Tampak pula deretan huruf dari guntingan kardus yang dicat menempel di dinding : Warabal, Warung Baca Lebakwangi.

Awalnya Warabal dirintis dengan usaha swadaya penuh. Buku-buku didapat dengan menyisihkan uang belanja. Kadang, hal ini membebani suami dan anak-anak Kiswanti yang mengandalkan upah pembersih kolam renang dan warung kecil sebagai pendapatan rutin keluarga. Toh ditengah kondisi yang serba mepet, ia masih bisa tersenyum. "Saya bersyukur di tengah keterbatasan, cita-cita saya mendirikan warung baca bisa terwujud. Suami dan anak-anak pun mendukung," ungkap perempuan kelahiran desa Ngidikan, Bantul DIY ini. Suaminya mengaku bangga atas usaha Kiswanti yang tergolong `gila' dan pantang menyerah.

Pengorbanan keluarganya memang tak kecil. Selain sering mendapat ejekan dan dijauhi orang karena dianggap aneh, hasil keringat mereka juga kadang terpaksa dikorbankan. Pernah demi perpustakaan Kis, Ngatminterpaksa menjual motornya, bahkan Afief, si Sulung juga dengan berat hati pernah menyerahkan isi tabungannya untuk sang Bunda. Padahaltabungan itu rencananya untuk biaya masuk kuliah. Toh perjalananpanjang dan pantang menyerah Kiswanti lambat laun membuahkan hasil juga. Bahkan kisah `perpustakaan onthel' itu akhirnya terdengar juga oleh sebuah departemen yang bergerak di bidang pendidikan, yang lantas membantunya sejumlah dana untuk memajukan perpustakaannya.

Ketika media mulai sering menulis tentang dirinya, bantuan pun lantas mulai berdatangan, baik dari instansi, perusahaan, meski kebanyakan adalah bantuan perorangan yang tergerak setelah tahu usaha keras Kiswanti. Yang menyenangkan, bantuan-bantuan itu bukan hanya untuk erpustakaannya tapi juga untuk anak-anaknya. Kis sangat bersyukur karena anak pertamanya bisa kuliah, meski itu dengan bantuan dari donatur. Sementara untuk perpustakaannya, belakangan mendapat sumbangan dari jaringan perpustakan dan relawan `1001buku'. Sekarang, Warabal bukan hanya mendapat banyak buku berkualitas, namun juga berbagai kegiatan untuk anak-anak. Lengkaplah sudah perpustakaan sederhana miliknya.

Dan perpustakaan hasil perjuangan panjang itu, memang tak pernah sepi. Pintunya pun tak pernah dikunci. Setiap saat ada saja anak-anak kecil yang masuk, dari sekedar main dakon atau serius mencari rujukan untuk pelajaran sekolah. Disitu pula ada jadwal-jadwal kursus gratis, dari belajar computer sampai bahasa Inggris. Kini perpustakaan kecil itu terus bergeliat, tak ada waktu libur, demi membaca, demi kepintaran. Dari 180 buku yang bisa dikumpulkan di tahun 1994, kini berkembang hingga ada 7250 buah.