Sabtu, 09 Oktober 2010

Kisah Cinta Sejati dari Negeri Sebelah

"true love doesn't have a happy ending, because true love never ends." bener ga?

Toshinobu Kubota, yang biasa dipanggil Shinji mengucapkan selamat tinggal kepada keluarganya di negerinya yang lama untuk mencari hidup yang lebih baik di Amerika. Ayahnya memberinya uang simpanan keluarga yang disembunyikan di dalam kantong kulit.

"Di sini keadaan sulit," katanya sambil memeluk putranya dan mengucapkan selamat tinggal. "Kau adalah harapan kami."

Shinji naik ke kapal lintas Atlantik yang menawarkan transport gratis bagi pemuda-pemuda yang mau bekerja sebagai penyekop batubara sebagai imbalan ongkos pelayaran selama sebulan. Kalau Shinji menemukan emas di Pegunungan Colorado, keluarganya akan menyusul.

Berbulan-bulan Shinji mengolah tanahnya tanpa kenal lelah. Urat emas yang tidak besar memberinya penghasilan yang pas-pasan namun teratur. Setiap hari ketika pulang ke pondoknya yang terdiri atas dua kamar, Shinji merindukan dan sangat ingin disambut oleh wanita yang dicintainya. Satu-satunya yang disesalinya ketika menerima tawaran untuk mengadu nasib ke Amerika adalah terpaksa meninggalkan Asaka Matsutoya sebelum secara resmi punya kesempatan mendekati gadis itu. Sepanjang ingatannya, keluarga mereka sudah lama berteman dan selama itu pula diam-diam dia berharap bisa memperistri Asaka.

Rambut Asaka yang ikal panjang dan senyumnya yang menawan membuatnya menjadi putri Keluarga Yoshinori Matsutoya yang paling cantik. Shinji baru sempat duduk di sampingnya dalam acara perayaan pesta bunga dan mengarang alasan-alasan konyol untuk singgah di rumah gadis itu agar bisa bertemu dengannya. Setiap malam sebelum tidur di kabinnya, Shinji ingin sekali membelai rambut Asaka yang pirang kemerahan dan memeluk gadis itu. Akhirnya, dia menyurati ayahnya, meminta bantuannya untuk mewujudkan impiannya.

Kira-kira setahun kemudian, sebuah telegram dating mengabarkan rencana untuk membuat hidup Shinji menjadi lengkap. Pak Yoshinori Matsutoya akan mengirimkan putrinya kepada Shinji di Amerika. Putrinya itu suka bekerja keras dan punya intuisi bisnis. Dia akan bekerja sama dengan Shinji selama setahun dan membantunya mengembangkan bisnis penambangan emas. Diharapkan, setelah setahun itu keluarganya akan mampu datang ke Amerika untuk menghadiri pernikahan mereka.

Hati Shinji sangat bahagia. Dia menghabiskan satu bulan berikutnya untuk mengubah pondoknya menjadi tempat tinggal yang nyaman. Dia membeli ranjang sederhana untuk tempat tidurnya di ruang duduk dan menata bekas tempat tidurnya agar pantas untuk seorang
wanita. Gorden dari bekas karung goni yang menutupi kotornya jendela diganti dengan kain bermotif bunga dari bekas karung terigu. Di meja samping tempat tidur dia meletakkan wadah kaleng berisi bunga-bunga kering yang dipetiknya di padang rumput.

Akhirnya, tibalah hari yang sudah dinanti-nantikannya sepanjang hidup. Dengan tangan membawa seikat bunga daisy segar yang baru dipetik, dia pergi ke stasiun kereta api. Asap mengepul dan roda-roda berderit ketika kereta api mendekat lalu berhenti. Shinji melihat setiap jendela, mencari senyum dan rambut ikal Asaka.Jantungnya berdebar kencang penuh harap, kemudian tersentak karena kecewa.

Bukan Asaka, tetapi Yumi Matsutoya kakaknya, yang turun dari kereta api. Gadis itu berdiri malu-malu di depannya, matanya menunduk. Shinji hanya bisa memandang terpana. Kemudian, dengan tangan gemetar diulurkannya buket bunga itu kepada Yumi. "Selamat datang," katanya lirih, matanya menatap nanar. Senyum tipis menghias wajah Yumi yang tidak cantik.

"Aku senang ketika Ayah mengatakan kau ingin aku datang ke sini," kata Yumi, sambil sekilas memandang mata Shinji sebelum cepat-cepat menunduk lagi.

"Aku akan mengurus bawaanmu," kata Shinji dengan senyum terpaksa.

Bersama-sama mereka berjalan ke kereta kuda. Pak Matsutoya dan ayahnya benar. Yumi memang punya intuisi bisnis yang hebat. Sementara Shinji bekerja di tambang, dia bekerja di kantor. Di meja sederhana di sudut ruang duduk, dengan cermat Yumi mencatat semua kegiatan di tambang. Dalam waktu 6 bulan, asset mereka telah berlipat dua. Masakannya yang lezat dan senyumnya yang tenang menghiasi pondok itu dengan sentuhan ajaib seorang wanita.

Tetapi bukan wanita ini yang kuinginkan, keluh Shinji dalam hati, setiap malam sebelum tidur kecapekan di ruang duduk. Mengapa mereka mengirim Yumi? Akankah dia bisa bertemu lagi dengan Asaka? Apakah impian lamanya untuk memperistri Asaka harus dilupakannya? Setahun lamanya Yumi dan Shinji bekerja, bermain, dan tertawa bersama, tetapi tak pernah ada ungkapan cinta. Pernah sekali, Yumi mencium pipi Shinji sebelum masuk ke kamarnya. Pria itu hanya tersenyum canggung. Sejak itu, kelihatannya Yumi cukup puas dengan jalan-jalan berdua menjelajahi pegunungan atau dengan mengobrol di beranda setelah makan malam.

Pada suatu sore di musim semi, hujan deras mengguyur punggung bukit, membuat jalan masuk ke tambang mereka longsor. Dengan kesal Shinji mengisi karung-karung pasir dan meletakkannya sedemikan rupa untuk membelokkan arus air. Badannya lelah dan basah kuyup, tetapi tampaknya usahanya sia-sia. Tiba-tiba Yumi muncul di sampingnya, memegangi karung goni yang terbuka. Shinji menyekop dan memasukkan pasir kedalamnya, kemudian dengan tenaga sekuat lelaki, Yumi melemparkan karung itu ke tumpukan lalu membuka karung lainnya. Berjam-jam mereka bekerja dengan kaki terbenam lumpur setinggi lutut, sampai hujan reda. Dengan berpegangan tangan mereka berjalan pulang ke pondok.

Sambil menikmati sup panas, Shinji mendesah, "Aku takkan dapat menyelamatkan tambang itu tanpa dirimu. Terima kasih, Yumi."

"Sama-sama," gadis itu menjawab sambil tersenyum tenang seperti biasa, lalu tanpa berkata-kata dia masuk ke kamarnya.

Beberapa hari kemudian, sebuah telegram datang mengabarkan bahwa Keluarga Matsutoya dan Keluarga Kubota akan tiba minggu berikutnya. Meskipun berusaha keras menutup-nutupinya, jantung Shinji kembali berdebar-debar seperti dulu karena harapan akan bertemu lagi dengan Asaka. Dia dan Yumi pergi ke stasiun kereta api. Mereka melihat keluarga mereka turun dari kereta api di ujung peron.

Ketika Asaka muncul, Yumi menoleh kepada Shinji.
"Sambutlah dia," katanya.

Dengan kaget, Shinji berkata tergagap, "Apa maksudmu?"

"Shinji, sudah lama aku tahu bahwa aku bukan putri Matsutoya yang kau inginkan. Aku memperhatikan bagaimana kau bercanda dengan Asaka dalam acara Perayaan pesta bunga lalu." Dia mengangguk ke arah adiknya yang sedang menuruni tangga kereta. "Aku tahu
bahwa dia, bukan aku, yang kauinginkan menjadi istrimu."

"Tapi..."

Yumi meletakkan jarinya pada bibir Shinji. "Ssstt," bisiknya. "Aku mencintaimu, Shinji. Aku selalu mencintaimu. Karena itu, yang kuinginkan hanya melihatmu bahagia. Sambutlah adikku."

Shinji mengambil tangan yumi dari wajahnya dan menggenggamnya. Ketika Yumi menengadah, untuk pertama kalinya Shinji melihat betapa cantiknya gadis itu. Dia ingat ketika mereka berjalan-jalan di padang rumput, ingat malam-malam tenang yang mereka nikmati di depan perapian, ingat ketika Yumi membantunya mengisi karung-karung pasir. Ketika itulah dia menyadari apa yang sebenarnya selama berbulan-bulan telah tidak diketahuinya.

"Tidak, Yumi. Engkaulah yang kuinginkan." Shinji merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya dan mengecupnya dengan cinta yg tiba-tiba membuncah didalam dadanya.

Keluarga mereka berkerumun mengelilingi mereka dan berseru-seru, "Kami datang untuk menghadiri pernikahan kalian!"

Sabtu, 02 Oktober 2010

SEGELAS AIR PUTIH

Tak lepas pandangan Ahmad menatap segelas air putih di depannya. Dihempaskan tubuhnya di sofa, sambil melepas sepatu satu-satu, kemudian dilemparkannya dipojok ruangan tamu. Tak habis pikir, sudah 3 hari ini di meja makan hanya tersedia segelas air putih dan tiga biji butir korma. Ada apa dengan istrinya?. Dia membatin. Rasanya uang belanja yang dia berikan cukup untuk menyediakan makan 10 orang. Kenapa hanya segelas air putih. Bisa saja Ahmad makan diluar. Dengan jabatannya di dirjen pajak, apa saja sanggup dia beli. Rumah sekarang yang ditempati saja mampu untuk menampung 100 orang, mobil sudah terpakir model terbaru. Duh, benar-benar Ahmad tak habis pikir. Rasanya dirinya benar-benar tidak dihargai istrinya. Apakah istrinya tidak tahu kalau di kantor dia bisa memerintahkan siapa saja, perlu apa saja dia tinggal tunjuk. Dengan masgul, dia tatap segelas air putih, dengan pikiran melayang. Hampir nanar.

Teringat dahulu begitu mempesonanya sang istri, dia harus megalahkan selusin laki-laki, untuk mendapatkannya. Anggun dan berbudi pekerti luar biasa. Siapa yang tidak terpesona akan tutur katanya yang santun. Masih ditambah dengan kecerdasan yang amat menonjol. Bagai kejatuhan bulan. Itulah yang dia rasakan saat pinangannya diterima. Ya, dia amat mencintai istrinya. Tapi kalau sekarang dirinya disamakan dengan segelas air putih. Ahmad tanpa terasa geleng-geleng kepala. Betapa lelahnya dia seharian, paling awal dia pulang jam sepuluh malam. Dimana semua sudah tertidur. Biasanya dimeja makan lengkap sudah masakan kesukaannya, itulah bentuk penghargan dari istrinya padanya. Itu melahirkan rasa bangga bagi Ahmad. Rasa dihargai, rasa dihormati. Apalagi istrinya pasti memasak sendiri untuknya. Dia tidak pernah mempercayakannya kepada pembantu. Itu yang Ahmad suka. Seorang istri yang sempurna. Ada rasa aneh menyelinap di dada Ahmad. Segera ditepisnya. Diusap mukanya, dengan lunglai dia melangkah ke kamar, menatap sebentar istri yang sudah tertidur, ada rasa haru, tanpa sadar menghela nafas berat. Besok sajalah dia akan mencoba berbicara dengan istri. Setengah berbisik, dia kembali ke ruang pribadinya untuk sekedar menikmati musik kesayangannya. Sebuah ruangan bak studio rekaman yang mampu menghadirkan orkestra bagai menikmati suasana pertunjukan langsung. Dentuman halus, menghantarkan Ahmad menembus mimpi-mimpinya.

Memasuki alam mimpi, Entah mengapa pikiran masih saja menggayuti, keengganan akan air putih. Yah..segelas air putih, apa enaknya ?. Sungguh dia telah lupa betapa nikmatnya air putih. Begitu sejuk melegakan tenggorokan, menyapu setiap syaraf yang dilaluinya, dari kerongkongan, hingga memasuki ronnga perut. Terasa bagai guyuran air yang meyejukan peredaran darah. Baginya tak ada rasa. Sama saja.

Jutaan manusia yang berbaris mengais hidup di padang pasir yang tandus, mengerti betul bahwa segelas air putih lebih berharga daripada emas. Dalam belantara padang pasir siapapun rela mengorbankan harta bendanya demi segelas air putih. Yah..segelas air putih mampu menyelamatkan mereka dari kematian akibat kehausan.

Disisi belahan bumi yang lain, di kutub-kutub dan padang padang salju. Di kutub kutub yang masih di selimuti gunung-gunung es. Manusia tak terlalu membutuhkannya. Dengan mudahnya mereka mendapatkan, karena seluruh hamparan mata memandang semua adalah air. Mereka membutuhkan kehangatan. Yah..rasa hangat, dari matahari akan menyelematkan mereka dari kedinginan.

Manusia di kedua belahan bumi tersebut tentunya, akan memaknai segelas air putih dengan cara berbeda, dengan persepsi yang berbeda pula. Manusia yang hidup di padang pasir tak henti berdoa kepada Tuhannya agar diturunkan air dari langit, untuk segelas air putih yang akan membasahi tenggorokan mereka. Manusia yang hidup di kutub meski membutuhkan air namun mereka tidaklah meminta agar diturunkan air hujan seperti halnya rekan mereka di padang pasir.

Ketika nikmat panas diberikan kepada kutub..
apakah sama rasanya ketika diberikan kepada padang pasir..?
Ketika nikmat air sejuk dan dingin diberikan kepada padang pasir
apakah sama rasanya jika diberikan kepada kutub..?
Bilakah manusia-manusia di dalamnya mau bertukar tempat..?
Orang padang pasir menempati kutub dan diberikan apa permintaannya air yang sejuk lagi dingin terus menerus..?
dan begitu juga sebaliknya...
maukah mereka seperti itu..(?)

............................................
manusia memohon dengan persepsinya rahsa yang menurutnya nikmat..
bahkan tidak pernah mau melihat realitas tersebut..

......................

Betulkah panas yang diminta orang kutub baik untuk dirinya dan lingkungannya..?

Betulkah air hujan yang diminta manusia padang pasir baik untuk dirinya dan lingkungannya..?

Apakah manusia yang lebih tahu

Ataukah Tuhan yang tahu kebutuhan hamba-hambanya

.......................


Ahmad masih memasuki alam mimpinya. Semua telah dimilikinya. Maka segelas air putih menjadi tak ada rasanya. Kemanakah rahsa yang dahulu begitu nikmat. Ketika segelas air putih membasahi tenggorokannya saat pertama kali, menapakkan kaki di belantara Jakarta. Panas yang menyengat , polusi dan kemacetan membuat air segelas itu nikmat luar biasa, melegakan sekali. Tubuh menjadi segar luar biasa, dan semangat kembali membara. Memasuki tiap kantor dalam mencari kerja. Itu tinggal cerita lama. Sekarang dia mampu membeli minuman seharga berapapun. Ketika semua mampu di dapatkannya, apakah salah jika dia meminta lebih dari pada segelas air putih. Meskipun dia tahu sebenarnya fungsi bagi ketubuhan adalah sama saja. Baik air putih atau air berwarna. Namun..(?). Dia tiba-tiba terjaga dari mimpinya. Kemana rahsa nikmat tersebut hilang. Nikmatnya segelas air putih. (?). Manakah yang lebih baik. Mampu membeli semua minuman namun kehilangan rahsa. Ataukah segelas air putih namun sangat terasa kenikmatannya..?. Dimanakah yang salah..?. .

Sungguh istrinya benar-benar mengerti keadaannya. (?). Dia telah kehilangan kenikmatan segelas air putih. Dan sang istri mengingatkannya. Mengingatkan bahwa dia telah kehilangan amat banyak. KEHILANGAN CINTA TUHANNYA.

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu cintaMu dan cinta orang-orang yang mencintaiMu dan aku memohon kepadaMu perbuatan yang dapat mengantarku kepada cintaMu. Ya Allah, jadikanlah cintaMu lebih kucintai daripada diriku dan keluargaku serta air dingin.” Dan bila Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam mengingat Nabi Daud ’alihis-salaam beliau menggelarinya sebaik-baik manusia dalam beribadah kepada Allah.” (HR Tirmidzi 3412)

“Ampuni hambaMU, Ya Allah”. Ahmad jatuh tersungkur. Nikmatnya air putihpun dia sudah lupa. Pengambdian sang istri pun dia sudah sering abaikan. Egonya mengatakan bahwa dia telah berikan semua kekayaan kepada sang istri, sudah kewajiban istri. Duh..dia tak mampu menikmati kesetiaan dan pengambdian sang istri,dan juga nikmat segelas air putih. Sekarang bagaimana dapat dia perbandingkan dengan cinta Tuhan-NYA. Apa yang dapat di perbandingkan. (?). Maka Ahmad paham hilangnya kenikmatan segelas air putih adalah pertanda bahwa cinta Tuhan sudah tiada. Segelas air putih pun dia sudah tak mampu merasakan nikmat, bagaimana dia mampu merasakan betapa nikmat CINTA TUHAN , bilamanakah mampu dia rasakan.(?). Harta dan kekayaan dunia telah menghijabnya. Menjadi thogut selama ini. "Ya Allah berikanlah kenikmatan segelas air putih, agar kami mampu merasakan betapa cinta MU melebihi nikmatnya segelas air putih, sebagaimana doa nabi Daud, ajarkanlah ya Allah. ajarkan kami untuk mampu menikmati kembali kenikmatan segelas air putih yang telah lama kami lupakan, sungguh nikmat mana yang dapat kami dustakan". Ahmad bersujud dan menangis amat dalam.