Minggu, 12 April 2009

Gila Yang Sebenarnya

Pada suatu hari, Rasulullah SAW melewati sekelompok orang yang sedang berkumpul.
Beliau bertanya,"Karena apa kalian berkumpul disini".
Para sahabat menjawab, " Ya Rasulullah, ini ada orang gila, sedang mengamuk. Karena itulah kami berkumpul disini?".
Beliau bersabda : "Orang ini bukan gila. Ia sedang mendapat musibah. Tahukah kalian, Siapakah orang gila yang benar-benar gila ( al-majnun haqq al-majnun)?" .
Para sahabat menjawab, "Tidak,ya Rasulullah.. .?"
Beliau menjelaskan, "Orang gila adalah orang yang berjalan dengan sombong, yang memandang orang dengan pandangan yang merendahkan, yang membusungkan dada, berharap akan ada Surga Tuhan sambil berbuat maksiat kepadaNya, yang kejelekannya membuat orang tidak aman dan kebaikannya tidak pernah diharapkan. Itulah orang gila yang sebenarnya. Adapun orang ini, dia hanya sedang mendapat musibah saja."

Majnun, orang gila, berasal dari akar kata jannat, yang artinya menutupi. Dia masih mempunyai akal, tetapi akalnya itu tidak dapat menerangi perilakunya. Akalnya sudah dikuasai hawa napsunya. Dengan pengertian inilah Nabi Muhammad SAW, menyebut orang takabur sebagai majnun. Para sahabat menyebut majnun kepada orang yang perilakunya tidak normal (abnormal). Sementara Nabi menyebut orang seperti itu dengan mubtala, orang yang mendapat musibah, orang sakit. Dia sakit karena tidak sanggup menanggung derita. Perilakunya yang aneh hanyalah teknik untuk melarikan diri dari kenyataan yang sangat menyakitkan : berpisah dengan orang yang dicintai, dikhianati sahabat, kehilangan pekerjaan, menghadapi buah simalakama, dsb. Nabi SAW menyuruh kita melihat orang seperti itu sebagai orang yang kita bantu. Ia bukan majnun, tetapi mubtala. Kita harus meringankan deritanya dan memberikan jalan keluar dari bala yang mengenainya. Ia bukan orang yang tertutup akalnya. Ia hanya orang yang hancur hatinya.

Bukankah Tuhan berkata : "Carilah Aku ditengah-tengah orang yang hancur hatinya ?".

Orang yang kena bala harus didekati, tetapi orang gila harus dijauhi. Menurut Nabi SAW, ciri utama orang gila adalah takabur. Ia merasa dirinya besar dan merendahkan orang lain. Takabur menutupi kenyataan bahwa ia tidak berbeda dengan yang lainnya. Ia hanya makhluk yang berasal dari nuthfah dan berakhir pada jifah (bangkai). Karena takabur, dia menjadi majnun. Akalnya tertutup. Takabur mengubah kedudukan, keturunan, dan kekayaan menjadi tirai baja yang menutup jati dirinya.

Rasulullah SAW berkata kepada Abu Dzarr, "Wahai Abu Dzarr, barang siapa mati dan dalam hatinya ada sebesar debu dari takabur, ia tidak akan mencium bau Surga, kecuali jika Ia bertaubat sebelum maut menjemputnya" .

Abu Dzarr berkata: "Ya Rasulullah, Aku mudah terpesona dengan keindahan, Aku ingin gantungkan cambukku indah dan pasangan sandalku juga indah. Yang demikian itu membuatku takut”.

Rasulullah bertanya : “Bagaimana perasaan hatimu ?".

Abu Dzarr menjawab : "Aku dapatkan hatiku mengenal kebenaran dan tentram didalamnya".

Rasulullah berkata : "Yang demikian itu tidak termasuk takabur. Takabur itu ialah meninggalkan kebenaran dan kamu mengambil selain kebenaran. Kamu melihat kepada orang lain dengan pandangan bahwa kehormatannya tidak sama dengan kehormatanmu, darahnya tidak sama dengan darahmu".

Walhasil, Anda takabur kalau Anda tidak mau menerima kebenaran karena yang menyampaikan kebenaran itu rakyat kecil, Orang miskin, bawahan atau pegawai. Anda tidak mau mendengar nasehat dari Anak atau Istri Anda, karena Anda menganggap mereka lebih rendah dari Anda. Anda tidak mau mendengar pembicaraan dari orang Isalam yang pahamnya berbeda dengan Anda karena Anda menganggap mereka sesat dan Anda berada di jalan yang benar. Karena Anda mempunyai hubungan dekat dengan orang besar, Anda ingin diperlakukan sebagai orang istimewa dan hokum apapun tidak boleh berlaku untuk Anda. Karena Anda merasa lebih berilmu, Anda meremehkan orang yang Anda anggap bodoh. Anda kecam mereka. Anda tertawakan kejahilan mereka. Kalau ilmu Anda itu ilmu Agama. Anda berikan gelar-gelar yang buruk kepada orang yang Anda pandang tidak sepaham dengan Anda. Anda khusukan Surga itu untuk kelompok Anda dan neraka untuk kelompok lain. Anda sahkan semua ibadah Anda dan anda batalkan ibadah yang lain. Karena Anda ahli ibadah, Anda merasa diri Anda yang paling salih diantara seluruh makhluk di Bumi ini. Anda sombong dengan salat malam anda. Anda bangga dengan bacaan Alquran Anda. Anda tinggi hati dengan haji dan umrah Anda. Kemudian, Anda merasa puas dengan ibadat Anda dan lupa dengan akhlak Anda di tengah-tengah masyarakat. Anda begitu puas dengan puasa Anda, sehingga Anda lupa pada fakir miskin disekitar Anda. Anda begitu senang dengan salat Anda sehingga Anda lupa memperbaiki akhlak Anda.

Karena Anda mempunyai kekayaan lebih dari kebanyakan orang. Anda busungkan dada anda. Anda rendahkan orang-orang yang kurang kaya disbanding Anda. Anda ciptakan kelompok eksklusif. Anda singkirkan ke pinggir, orang-orang yang lebih miskin dari anda. Anda menganggap mereka tidak sederajat dan tidak sedarah dengan anda. Karena anda merasa berkuasa, anda tidak segan-segan menggebuk orang yang tidak anda sukai. Anda tidak menghiraukan penderitaan rakyat kecil yang anda tindas dengan semena-mena. Anda menegakkan kekuasaan diatas keringat, air mata dan darah orang-orang yang tak berdaya. Kalimat-kalimat diatas dapat anda gunakan untuk mendiagnosis apakah anda memiliki penyakit takabur. Satu saja diantara "gejala" itu anda rsakan, anda sudah menjadi orang yang betul-betul gila (almajnun haq-almjnun) ***


Karya Jalaluddin Rakhmat "Reformasi Sufistik" Penerbit : Pustaka Hidayah

Selasa, 07 April 2009

Ya ALLAH...., Kapan Aku Mengangkat Koperku Sendiri...?

Saat itu adalah bulan Muharram tahun 1424 H. Seorang pria bernama Mamat yang bekerja di Bandara Soekarno-Hatta sedang sibuk mengangkat koper-koper penumpang. Koper bukan sembarang koper. Semua koper yang baru saja dibongkar dari pesawat Saudia Airlines itu memiliki kesamaan; berbentuk besar, berwarna biru tua dan bertuliskan nama pemilik, nomer kloter dan asal kota. Koper-koper tersebut adalah milik jemaah haji yang baru saja selesai menunaikan ibadah haji di Tanah Suci pada tahun itu.

Setiap kali mengangkat satu koper, Mamat selalu membaca basmalah dan shalawat kepada Rasulullah Saw. Sudah berpuluh koper yang ia angkat, hingga rasa itu muncul di dadanya. Pada kali selanjutnya, tatkala tangannya menggamit pegangan koper, ia sempat membaca doa kecil kepada Allah Sang Penguasa alam di dalam hatinya, "Ya Allah, kapan saya mengangkat koperku sendiri seperti ini...?!" Sebenarnya yang ia maksud adalah ia begitu berharap dapat berangkat haji ke Baitullah.

Rupanya Allah mendengar jeritan hati Mamat. Hanya selang 4 bulan saja, Subhanallah, namanya keluar sebagai salah seorang dari 17 orang pegawai yang mendapatkan jatah naik haji tahun itu atas biaya kantor. Mamat pun amat bersyukur kepada Allah Ta'ala karenanya. Namun kebahagiaan ini tidak serta-merta membuat Mamat puas hati. Ia tahu bahwa berita ini boleh jadi akan membuat Iis, istrinya bersedih. Sebab hanya dia saja yang dapat berangkat naik haji, padahal mereka berdua selalu berdoa kepada Allah Swt agar dapat berangkat naik haji bersama-sama. Maka tatkala menyampaikan berita ini pun, Mamat amat hati-hati dalam mengemasnya. "Semoga tidak ada bahasa yang terpeleset dan melukai hati", itulah harapan Mamat.

"Is.... Akang minta maaf ya sama kamu..." Mamat mencoba membuka percakapan dengan meminta maaf terlebih dahulu. "Emangnya ada apa, Kang?" sang istri bertanya. "Akang ingin beritahukan sesuatu ke kamu, tapi kamu jangan marah ya... apalagi sedih...?" sambut Mamat. Kalimat itu membuat Iis menjadi gelisah. Ia coba tenangkan hati untuk mendengar berita gak enak ini. Mamat pun kemudian menyambung kalimatnya dengan nada hati-hati, "Is... Akang hari ini mendapat kejutan. Akang terpilih menjadi salah satu karyawan yang akan diberangkatkan haji oleh kantor..."

"Alhamdulillah. ...!!!" Iis berteriak kegirangan. Ia langsung melompat ke arah Mamat suaminya dan memeluknya dengan erat. Dengan bersemangat Iis berkata, "Kirain berita sedih...! Berita bagus kayak begini kok dibawa sedih kayak begitu Kang? Iis ikut senang ngedengernya! " "Ya... emang sebenarnya ini adalah berita gembira, cuma yang bikin Akang takut membuat kamu sedih adalah karena Akang gak punya duit untuk ngeberangkatin kamu, Is! Akang khan cuma pegawai kecil seperti kamu tahu... Kalau saja, duit itu ada, tentu Akang akan ajak kamu juga untuk berhaji ke rumah Allah!" Iis lalu mengerti kegundahan yang berkecamuk dalam hati suaminya. Sambil tersenyum, Iis berujar, "Udah kang gak usah dipikirin, Iis rela melepas Akang naik haji. Tapi jangan lupa doain Iis ya biar cepat nyusul!" Akhirnya, apa yang dikhawatirkan Mamat tentang perasaan istrinya pun tidak berlaku. Sekali lagi Mamat bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla karenanya.

Hari itu adalah jadwal Mamat untuk berangkat haji. Seperti kebiasaan orang kampungnya, maka kepergian Mamat diantar dengan adzan dan iqamat. Pembacaan shalawat dustur yang dikumandangkan oleh seorang ustadz pun membuat semua orang haru meneteskan air mata. Saat itulah, Mamat berpamitan dengan menyalami serta merangkul orang-orang yang ia kenal seraya meminta restu. Semua anggota keluarga, kerabat, tetangga, sanak famili menghadiri acara itu. Semuanya sudah bersalaman dan berangkulan dengan Mamat. Hingga saat Mamat hendak naik ke atas kendaraan, saat itulah tiba giliran Iis mencium punggung telapak tangan suaminya dan suasana haru pun tercipta. Air mata suami-istri itu pun jatuh membasahi bumi. Saat mereka berdua berpelukan, Iis berucap, "Kang Mamat...., jangan lupa untuk doain Iis ya di Baitullah... panggil-panggil nama Iis di sana. Insya Allah, Iis dan anak-anak ikhlas ngelepas Akang. Semoga kita semua, dengan doa kang Mamat, bisa nyusul berangkat haji bareng-bareng. ..!" Tak kuasa Mamat menahan tangis. Pelukan itu makin ia pererat. Ia hanya mampu mengucapkan kata 'Amien'.

Dalam hati, Mamat berucap agar Allah Swt juga berkenan mengajak istri dan anak-anaknya untuk berhaji seperti dia. Di dalam kendaraan Mamat masih sempat berdoa kepada Allah Swt untuk keluarga yang ia tinggalkan: ALLAHUMMA ANTAS SHAHIBU FIS SAFAR, WAL KHALIFATU FIL AHLI. HR. Muslim "Ya Allah, Engkau adalah pendampingku dalam perjalanan. Engkau juga yang menggantikan aku untuk menjaga keluarga yang ditinggalkan. .. Amien" HR. Muslim.

Usai membaca doa, ia pusatkan konsentrasinya untuk khusyuk beribadah kepada Allah Swt. 42 hari Mamat menuntaskan semua ritual ibadah haji di kota suci Mekkah Al Mukarramah dan Madinah Al Munawwarah. Semuanya dijalani dengan begitu khusyuk dan nikmat. Sesampainya di tanah air pun, ia langsung mendapatkan sebuah titel baru dari masyarakat. Kini ia dikenal dengan panggilan Haji Mamat di kampungnya.
Lepas 6 bulan setelah kepulangannya dari tanah suci. Iis istrinya yang dulu sempat berucap ikhlas melepas kepergian suaminya ke tanah suci, pagi itu ia kelepasan berujar bahwa dirinya sebenarnya begitu ingin juga berangkat ke tanah suci untuk berhaji. Kalimat itu dituturkan dengan nada sedih yang mengguncang hati Mamat. Kegundahan itu memang pernah diduga sebelumnya oleh Mamat. Namun baru kali ini kegundahan itu membuncah, dan tercetus lewat penuturan akan kerinduan untuk datang ke rumah Allah Swt dalam ritual haji. Muslim atau muslimah mana yang tidak mau untuk berhaji?

Maka demi menghibur hati Iis, Mamat pun berujar kepadanya, "Is... kamu memang berhak untuk berangkat haji seperti orang lain, tapi Akang belum cukup punya uang. Sekarang kita hanya mampu untuk berdoa kepada Allah Swt.... Dia Maha Kuasa.... Jangankan minta haji.... minta yang lebih dari itu Dia pun amat kuasa. Nanti malam kita bangun ya untuk shalat tahajud...! kata ustadz, doa pada sepertiga malam terakhir amat dikabul. Nanti kita doa sama-sama untuk minta naik haji. Insya Allah akan dikabulkan.. . percaya deh!"
Demikian ajakan Mamat kepada istrinya untuk melakukan shalat tahajud dan berdoa bersama nanti malam. Dan ajakan itu, disambut dengan anggukan kepala oleh Iis tanda setuju. Rupanya Mamat pulang dari kerja tidak seperti biasa. Hari itu ia tiba di rumah lewat dari pukul 20.00 WIB. Rupanya ada pekerjaan ekstra yang ia lakukan. Biasanya Mamat sudah tiba di rumah pukul 5 sore. Mungkin, ada pesawat lain yang tiba di luar jadwal, sehingga beberapa kuli panggul seperti Mamat disiagakan untuk bongkar muatan.

Mamat pulang dengan badan yang letih. Usai menjalani shalat Isya, ia langsung rebahan di atas kasur dan langsung tertidur. Rasa letih membuatnya lupa untuk makan malam terlebih dahulu, atau menyapa keluarganya yang masih menunggu kedatangannya. Iis dapat memaklumi hal itu. Tidak beberapa lama kemudian, Iis pun menyusul tidur di atas ranjang bersama suaminya. Seperti apa yang telah mereka janjikan, Iis terjaga dan bangkit dari tidur pada pukul 3 pagi. Kemudian ia tepuk-tepuk kaki suaminya. Karena terlalu letih, Mamat tak sanggup untuk bangkit dan hanya berujar, "Ah...ah...! " tanda bahwa ia tak sanggup membuka mata. Iis langsung bangkit menuju kamar mandi. Usai berwudhu, ia kembali lagi ke kamar untuk bertahajud. Sajadah telah dibentangkan dan mukena pun telah ia kenakan. Sebelum melakukan shalat, untuk kedua kalinya Iis menepuk kaki Mamat agar ia bangun dan melakukan shalat tahajud bersama-sama. Sekali lagi, Mamat hanya mengeluarkan kata, "Ahh...ahh.. .!" Ia terlalu lelah untuk bangkit dan menyusul istrinya untuk bertahajud. Iis pun memaklumi. Raut wajah Mamat yang letih sudah mengabarkan bahwa ia terlalu lelah bekerja hari itu. Iis pun melapalkan takbiratul ihram tanda ia memulai shalat tahajud.

Begitu khusyuk shalat yang Iis dirikan, dan di atas pembaringan Mamat pun menyaksikan sosok istrinya yang bermukena sedang menjalankan shalat. Namun ia dalam kondisi antara tidur dan terjaga. Kata orang, ini adalah tidur ayam. Tidur tak mau, bangun tak kuasa. Setiap gerakan shalat yang Iis lakukan selalu ia iringi dengan tetesan air mata. Sungguh..., seolah Allah Swt hadir menyambut kedatangan Iis dalam keheningan malam itu. Hingga kedekatan dengan Sang Maha Pencipta pun dapat dirasakan oleh Iis yang menjalankan shalat tahajud. Tak terasa waktu bergulir dengan cepat. Sudah satu jam lebih Iis melakukan shalat dan dzikir kepada Allah Swt. Waktu telah menunjukkan pukul 4 lebih. Dan ia berkeinginan untuk bermunajat kepada Allah Swt dalam lantunan dan rangkaian doa yang ia bacakan.

"Allahumma, ya Allah... Izinkan hamba-Mu ini untuk dapat berhaji ke rumah-Mu. Mudahkan jalan hamba.... Lapangkanlah rezeki kami. Engkau Yang Maha Kuasa atas segalanya... . Berikan perkenanmu agar aku sanggup datang ke rumah-Mu untuk beribadah dan memakmurkannya. .. Dengarkan doaku dan Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu...!"

Dalam kesyahduan doa yang dibaca oleh Iis kepada Tuhannya, rupanya Mamat pun sempat mengamini di dalam hati tanpa sepatah kata pun terucap. Sungguh, malam itu telah terbangun sebuah jalinan suci antara seorang hamba dengan Allah Swt dalam rangkaian doa yang penuh hikmat dan cita. Adzan Shubuh mulai terdengar di beberapa masjid dan mushalla. Untuk terakhir kali, Iis membangunkan Mamat suaminya sambil berujar, "Pak Haji... ayo bangun! Malu sama tetangga. Masa sudah haji enggak shalat Shubuh berjamaah? Ayo bangun, Kang....!" Mamat pun bangkit. Berat sekali rasanya ia mengangkat badan. Setelah berwudhu, ia pun mengenakan pakaian yang bersih lalu berangkat menuju mushalla untuk melaksanakan shalat Shubuh. Mamat mengucapkan salam saat masuk kembali ke rumah.

Iis dan anak-anak pun sudah bangun semua. Inilah rumah yang berkah. Semua sudah terjaga dan bangkit untuk menyongsong hari yang indah. Mamat kemudian meminta Iis membuatkan secangkir kopi untuknya. Kemudian dengan tasbih di tangan, ia baru saja hendak menempelkan pantatnya ke kursi sofa di ruangan depan. Namun tiba-tiba hasratnya untuk duduk, dihentikan oleh dering telfon yang berbunyi keras di pagi hari. Mamat pun mengangkat gagang telfon.

"Assalamu'alaikum. .... ini dari mana dan mau bicara dengan siapa?" Mamat membuka pembicaraan. "Mat... ini teh Sulis, Iis ada nggak?" demikian suara di seberang menjawab. Mamat pun tahu bahwa orang yang menelfon ini rupanya adalah kakak iparnya sendiri. Tanpa berpikir panjang, Mamat pun memanggil Iis yang saat itu sedang hendak membuatkan kopi untuknya. Mamat kembali duduk di atas kursi sofa. Sementara Iis duduk di lantai untuk menerima telfon. Baru saja Iis mengucapkan salam kepada teh Sulis, namun setelah itu tidak ada satu patah kata pun yang meluncur dari mulut Iis. Yang ada adalah deraian air mata dan kata, 'iya Teh!' berulang-ulang diucapkan.

Pembicaraan telfon di pagi hari itu sudah lebih dari 10 menit berlangsung. Melihat istrinya terus menangis, Mamat menduga bahwa ada berita buruk yang terjadi terhadap keluarga hingga pagi-pagi begini sudah menelfon dan membuat istrinya menangis. Mamat mengira bahwa ada salah seorang familinya berpulang kepangkuan Ilahi.

Gagang telfon itu kemudian diletakkan Iis. Ia masih sesenggukan menahan tangis. Iis mencoba mengangkat wajah dan menghadap ke arah suaminya. Saat itu Mamat mencoba menyelak dengan pertanyaan, "Siapa yang meninggal, Is..?" Masih sesenggukan Iis menjawab, "Gak ada yang meninggal, Kang!" "Lalu kenapa kamu menangis kayak begitu, emangnya berita sedih apa yang diceritain teh Sulis?" Mamat masih mengejar dengan pertanyaan yang lebih menukik.

Saat itulah Iis menceritakan hal sebenarnya, "Kang...., barusan teh Sulis bilang bahwa ia berniat berangkat haji tahun ini. Kebetulan kang Andi suaminya lagi banyak kerjaan. Kang Andi gak bisa nemenin....Teh Sulis tadi nanya saya, kamu khan belum berhaji, mau gak saya ajak? Teh Sulis mau bayarin biaya haji saya.... tapi saya disuruh minta izin dulu ke Akang.
Iis gak nyangka, Kang.... begitu cepat Allah menjawab doa yang baru saja Iis sampaikan dalam tahajud. Sekarang, pilihan mah ada di Akang. Jika Akang izinkan, saya siap. Kalau Akang enggak izinin saya juga ikhlas...!" Iis berhenti sejenak mengatur nafasnya yang masih sesenggukan. Air mata itu masih menetes tanda haru dan syukur atas doa yang Allah Swt kabulkan. Sementara Mamat masih terdiam, terperangah dan takjub atas kemurahan Tuhan.
Mamat langsung merangkul istrinya ke dalam dekapan. Mamat berujar, "Kamu boleh berangkat haji untuk beribadah dan nemenin teh Sulis. Akang ikhlas mengizinkan kamu dan merawat anak-anak di rumah. Silahkan kamu berhaji untuk melengkapi agama kamu, Is!"

Keduanya masih berpelukan erat tanda haru dan syukur atas nikmat Allah Swt yang tiada ternilai. Dalam keharuan tersebut ternyata masih tersisa sebuah penyesalan dalam dada Mamat yang kemudian terbersit di hatinya, "Coba, saya ikut bangun tahajud dan berdoa kepada Allah untuk minta haji. Mungkin bisa berangkat bareng-bareng juga kali ya....?!" Itulah kisah sepasang suami-istri hamba Allah Swt yang dimudahkan untuk berhaji ke Baitullah. Semoga Anda dan saya dapat menerima anugerah serupa. Amien!
"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur." (QS. 2:185)

Kamis, 02 April 2009

Gosip

Seorang wanita meneruskan sedikit yang ia dengar tentang tetangganya. Hanya dalam beberapa hari seluruh kampung telah mengetahui cerita itu. Orang yang digosipkan merasa tersinggung dan sakit hati. Di kemudian hari, wanita yang memulai gossip itu menyadari bahwa gosip itu ternyata sama sekali tidak benar. Ia merasa menyesal lalu mendatangi seorang yang bijak. Ia bertanya kepadanya cara memperbaiki kesalahan yang telah diperbuatnya.

“Pergilah ke pasar,” kata si orang bijak, “lalu belilah anak ayam dan mintalah untuk disembelih sekalian. Kemudian dalam perjalananmu pulang, cabutlah bulu ayam itu dan jatuhkan satu demi satu di jalan yang kau lalui.”

Meskipun heran dengan nasihat itu, si wanita tetap melakukan apa yang diperintahkan kepadanya.

Hari berikutnya, si orang bijak berkata, ”sekarang, pergilah dan kumpulkan semua bulu yang kemarin kau jatuhkan lalu serahkan bulu-bulu padaku.”

Si wanita segera menelusuri jalan yang ia tempuh kemarin. Ia merasa kaget dan cemas melihat angin telah meniup semua bulu-bul itu. Setelah berjam-jam mencari ia kembali hanya dengan tiga helai bulu saja ditangannya.

“Kau mengerti,” kata si orang bijak, ”adalah mudah menjatuhkan bulu-bulu itu, tapi mustahil mengumpulkannya kembali. Demikian pula halnya dengan gosip, tidak butuh waktu banyak untuk menyebarkannya, tetapi sekali kau lakukan, kau tidak akan dapat benar-benar mengoreksinya.

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. AL HUJURAAT: 10 – 12).

LEBIH BAIK DIAM KALAU HANYA PRASANGKA/AMARAH